Selasa, 30 Juni 2009

FILSAFAT

HUBUNGAN FILSAFAT, ILMU DAN AGAMA

Oleh : Dahri

Pendahuluan

Manusia merupakan makhluk yang memiliki potensi rasa ingin tahu yang tinggi untuk mengkaji atau mengetahui lebih dalam tentang alam ataupun lingkungan yang ada disekitarnya. Hal tersebut diawali dari beberapa pertanyaan mendasar mengenai fenomena pristiwa alamiah yang terjadi disekitar tempat dimana ia berada, maupun problematika hidupnya sendiri sehari-hari yang dilakukan yang mana pemecahannya dengan proses berpikir dan akhirnya dipahami sebagai proses berfilsafat. Namun tidak semua jalan yang ditempuh oleh manusia dalam mencari jawaban-jawaban tentang sesuatu yang ada di sekitarnya disebut dengan berfilsafat, namun bisa saja dengan berbagai cara. Salah satu cara lain yang ditempuh oleh manusia dalam mencari jawaban terhadap fenomena yang timbul disekitarnya yaitu dengan ilmu dan agama.

Pencapaian kebenaran dengan ilmu dilakukan dengan melakukan penyelidikan terhadap setiap fenomena yang muncul berdasarkan pengalaman, sedangkan agama dalam pemecahan masalah yang muncul berdasarkan kepada wahyu, yang secara normatif bisa dikatakan berdasarkan kepercayaan yang dianut oleh manusia itu sendiri.

Filsafat sebagai salah satu cara penjelajahan akal manusia untuk melihat kedalaman sesuatu, sebagai dasar pencapaian manusia dalam memperoleh jawaban tentang hakekat sesuatu yang ada. Agar manusia tidak salah dalam memandang tentang sesuatu maka oleh sebab itu manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan yang didukung agama. Kepercayaan yang anut oleh manusia itu itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup budayanya dalam bermasyarakat. Sikap kepercayaan itu dianut karena kebutuhan, dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara menjalani kepercayaan itu pun harus pula benar, karena menganut kepercayaan yang salah, dengan cara yang salah, bukan saja tidak dikhendaki akan tetapi bahkan berbahaya.

Dalam pencapaian kepercayaan yang benar manusia harus melalui tahapan-tahapan yang benar pula. Kepercayaan yang dicapai dengan jalan yang benar akan membuat manusia bertambah yakin dengan kebenaran yang mereka capai dan salah satu jalan untuk mencapai kebenaran adalah dengan jalan filsafat, ilmu dan agama. walaupun kebenaran yang dicapai dengan filsafat dan ilmu ini bukanlah suatu kebenaran yang absolut namun pada akhirnya akan kita lihat dari kacamata agama apakah benar atau tidak ? Demikian halnya dengan kebenaran yang ditemukan manusia itu akan melahirkan suatu pandangan hidup yang mana pandangan hidup ini akan terwujud dalam tatanan kehidupan manusia itu sendiri dan juga berhubungan dengan tatanan hidup lainnya.

Terlepas dari semua itu, filsafat ilmu dan agama merupakan ikhtiar manusia untuk menemukan suatu kebenaran ataupun hakekat tentang sesuatu yang menjadi sandaran nilai yang diyakini kebenarannya. Maka dalam pembahasan ini akan dikemukakan bagaimanakah hubungan filsafat, ilmu dan agama dalam mencapai suatu kesimpulan tentang sesuatu ? ataukah tidak ada hubungan sama sekali diantara ketiganya akan kita lihat pada pembahasan berikut.

I. Filsafat dan Objek Kajiannya

Pengertian Filsafat

Kata filsafat atau falsafat, berasal dari bahasa Yunani yang berasal dari kata Philiosophia yang berarti cinta pengetahuan. Yang terdiri dari kata Philos yang berarti cinta senang, dan kata Sophia berarti pengetahuan, hikmah dan kebijaksanaan (Jalaluddin, 1997 : 9). Sementara itu menurut Endang Saifuddin Ansahri sebagaimana yang ia kutif dari Pudjawinata sebagai berikut :

Filo artinya 'cinta' dalam arti seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena ingin itu lalu berusaha mencapai yang diigininya itu. Sopia artinya 'kebijaksanaan'. Bijaksana ini pun kata asing, dan artinya 'pandai' : mengerti dengan mendalam. Jadi menurut namanya filsafat boleh dimaknakan : 'ingin mengerti dengan mendalam' atau 'cinta kepada kebijaksanaan. (Endang Saifuddin Anshari : 1987 : 79)

Secara populer dapat kita katakana bahwa berfilsafat itu ialah berpikir ; memecahkan sesuatu masalah ; mencari jawab tentang sesuatu dengan jalan berpikir dan dapat juga didefinisikan bahwa berfilasafat adalah berpikir mencari kebenaran (Marimba, 1974; 14)

Namun tidak semua berpikir itu adalah berfilsafat karena dalam kerangka berfilsafat haruslah menempuh Kriteria berpikir yang sistematis, radikal dan mengenai keseluruhan. Tetapi berpikir setidaknya sudah mengarah kearah jalan berfilsafat walaupun tidak memenuhi kriteria dan norma aturan dalam berfilsafat.

Objek Materi Filsafat

Objek kajian filsafat atau materi filsafat sebgaimana menurut Endang Saifuddin Anshari dalam garis besarnya mencakup tiga bagian diantaranya : (1) masalah Tuhan, yang sama sekali diluar atau diatas jangkauan ilmu pengetahuan biasa, (2) masalah alam yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu penegtahuan biasa, (3) masalah manusia yang belum mampu ditemukan jawabannya dalam ilmu penegetahuan biasa. (Endang Saifuddin Anshari, 1987 : 92)

Filsafat yang merupakan cara berpikir yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai suatu kebenaran dan mempunyai objek kajian yang mencakup (Logika, etika dan estitetika) dan ketiga cakupan ini berkembang lagi menjadi bagian-bagain diantaranya pertama, teori tentang ada : hakikat keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika; dan kedua politik : yakni kajian mengenai organisasi sosial pemerintahan yang ideal. Dan kemudian cabang-cabang ini berkembang lagi menjadi spesifik yang disebut filsafat ilmu yang wilayah cakupannya meliputi : 1). Epistemologi (Filsafat pengetahuan); 2). Etika (Filsafat moral); 3). Estetika (Filsafat seni); 4). Metafisika; 5). Politik (Filsafat pemerintahan); 6). Filsafat Agama; 7). Filsafat ilmu; 8). Filsafat pendidikan; 9). Filsafat hukum; 10). Fisafat sejarah; 11). Filsafat matematika. (Jujun. S. Suriasumantri, 2002 ; 32), dan dari penggolongan ini muncul beberapa aliran filsafat yang menamakan dirinya sebagai aliran (1) Eksistensialisme yang berpendirian (pada umumnya) filsafat harus bertitik tolak pada manusia yang kongkrit, yaitu manusia exsistensi (2) Pragmatisme aliran yang beranggapan benar dan tidaknya suatu ucapan, dalail atau teori semata-mata bergantung kepada berfaedah dan tidaknya teori tersebut, (3) Femenologi bahwa hasrat ingin mengerti yang sebenarnya dalam mencapai kebenaran dapat dilakukan jika kita mengamat-amati fenomena atau penemuan dengan realitas (4) Positivisme berpendapat bahwa filsafat hendaknya berpangkal pada hal-hal yang positif saja sesuai dengan pristiwa-pristaiwa yang dialami oleh manusia (5) Aliran filsafat hidup berpendapat bahwa berfilsafat berulah mungkin jika dipadukan dengan seluruh kepribadian sehingga filsafat tidak hanya berkaitan dengan berpikir saja. (Endang Saifuddin Anshari, 1987 : 98-99)

Filsafat berusaha menjawab ketidakpuasan manusia terhadap apa yang sudah ada sehingga mendorongnya untuk mengkaji lebih jauh ke akar-akarnya. Artinya, mausia berusaha menemukan kebenaran yang sebenarnya melalui berpikir radikal, sistematis dan universal. Analisa filsafat dianggap mampu memecahkan problematika hidup dan kehidupan manusia. "Produk pemikiran tersebut merupakan pandangan dasar yang berintikan pada "Trichotomi" (tiga kekuatan rohaniah pokok yang berkembang dalam pusat kemanusiaan manusia (antropologis centra) yang meliputi : individualitas (kemampuan mengembangkan diri selaku anggota masyarakat), dan moralitas (kemampuan mengembangkan diri selaku pribadi dan anggota masyarakat berdasarkan moralitas (nilai-nilia moral agama) (Arifin, 2000 ; 44).

Dengan filsafat manusia berusaha mendalami tentang apa dan hakekat yang ada disekitarnya? Maka kekuatan yang mendorong manusia untuk mengetahui setiap hakekat yang ada disekitarnya dengan langkah awal berpikir, hal ini disebabkan karena rasa ingin tahu terhadap sesuatu hal yang belum ia ketahui.

Sejalan dengan itu, filsafat mengandung nilai-nilai dasar kebenaran pada akhirnya dianggap sebagai pandangan dan pedoman hidup manusia dalam menjalani kehidupannya baik dalam berhubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitar. Dengan demikian, manusia memiliki landasan dalam menjalani kehidupannya dan landasan tersebut difungsikan sebagai "tolok ukur bagi niali-nilai tentang kebenaran yang dicapai".(Jalaluddin & Usman Said, 1994 ; 1). Misalnya dalam pencapaian kebenaran yang absolute dalam meyakini akan kebenaran adanya Tuhan. Begitu pun sebaliknya dalam hal-hal yang bersifat empiris misalnya melacak akar dari ilmu pengetahuan yang muncul dari kegelisahan tentang keberdaan pengetahuan manusia terhadap alam semesta ini dan dengan segala isinya.

Filsafat sebagaiamana menurut Poedjawinata (1994 :8-9). objek kajiannya secara umum adalah: segala yang ada dan yang mungkin ada. Maka filsafat dalam pembahasannya tidak membatasi diri dan mencari keterangan yang sedalam-dalamnya tentang hakekat kebenaran sesuatu dengan sistem dan metode ilmiah, disini berbeda antar ilmu dan filsafat walaupun sama dalam mencapai sesuatu menggunakan metode ilmiah namun terjadi perbedaan didalammnya.

Ilmu dalam mencari kebenaran seuatu membatasi diri, dan ia berhenti bersadarkan pengalaman Poedjawinata (1994 : 9). Maka dapat dikatakan bahwa filsafat mempunyai objek atas segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.

II. Ilmu dan Objek Kajiannya

Pengertian Ilmu

Menurut pengertian dari Kamus besar bahasa Indonesia ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut methoda-methoda tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan itu. (Kamus Bahasa Indonesia : 1991 : 370).

Sedangakan menurut Ralph Ross dan Ernest Van Den Hag dalam bukunya The Fabic of Socity yang dikutif oleh Rasjidi dan Haripuddin Cawidu dalam bukunya Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat, sebagai berikut : "Science is empiricial, rational, general, and cumulative and it is an four at once". Ilmu adalah yang empiris yang rasional, yang umum dan kumulatif (bertimbun-timbun, dan keempat-empatnya serentak). (Rasjidi & Harifuddin, 1988 : 84).

Maka dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa pengertian Ilmu itu merupakan suatu pengetahuan yang bercirikan diantaranya sistematik, rasional, empiris dan bersifat kumulatif dengan ciri tertentu serta menyatu (yang dimiliki secara individu). Sebagai hasil berpikir atau produk berpikir, maka ilmu adalah merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan metode-metode kebenarannya serta kecepatannya dapat diuji secara empiris dan riset serta eksperimen.

Objek Kajian Ilmu

Ilmu sebagai hasil produk berpikir manusia mempunyai batasan-batasan. Dan batasan ilmu menurut pendapat Jujun S. Suriasumantri adalah : ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti dibatasi oleh pengalaman manusia pula. Namun kebanyakan para ilmuwan mengakui bahwa tidak semua pengalaman manusia dapat diselidiki secara keilmuwan.

Setiap ilmu pengetahuan (science, watenschap, wissenchaff) ditentukan oleh objeknya maka objek ilmu pengetahuan adalah objek materia dan objek forma. Namun pada pada garis besarnya objek ilmu pengetahuan ialah alam dan manusia dan oleh sebab itu para ahli membagi pengetahuan kepada dua bagian besar yaitu ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengeatahuan manusia. (Endang Saifuddin Anshari, 1987 : 50).

Sedangkan Mohammad Hatta membagi ilmu pengetahuan atas tiga kelompok besar yaitu ; ilmu alam (yang terbagi atas teoritika dan praktika), ilmu sosial (yang terbagi juga atas teorika dan praktika) dan ilmu kultur. (Endang Saifuddin Anshari, 1987 : 53). Dan masih banyak lagi pembagian-pembagian ilmu menurut para ahli yang antara satu ahli dengan yang lainnya mempunyai persepsi tersendiri tentang pengelompokan ilmu.

Batasan ilmu yang diberikan para ilmuwan tersebut mencakup wilayah penelaahan mereka pada daerah pengalaman, yang mana secara obyektif, logis dan sistematis yang didapatkan dan dikumpulkan sebagai suatu pengetahuan. Jadi dapat di tarik benang merah bahwa ilmu itu adalah hasil penelaahan manusia terhadap pengalaman yang secara obyektif, logis dan sistematis.

Maka ilmu pengetahuan yang mempunyai objek kajian materia dan forma tidak terlepas dari fungsinya sebagai ilmu pengetahuan yang memberikan manfaat kepada manusia sebagiman menurut Fudyartanta bahwa ilmu mempunyai fungsi yang diantaranya adalah : (1) Fungsi deskriftif : menggambarkan, melukiskan dan memaparkan suatu objek atau masalah sehingga mudah dipelajari (2) Fungsi pengembangan, melanjutkan hasi temuan yang lalu dan menghasilkan suatu temuan yang baru (3) Fungsi prediksi, meramalkan kejadian-kejadian yang besar kemungkinan terjadi sehingga manusia dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu dalam menghadapinya (4) Fungsi control, berusaha mengendalikan pristiwa-pristiwa yang tidak dikehendaki. (Endang Saifuddin Anshari, 1987 : 60-61)

Untuk mencapai fungsi ilmu yang memiliki Fungsi deskriftif, Fungsi pengembangan, Fungsi prediksi, Fungsi control , maka diperlukan suatu langkah dalam mencapai hal tersebut atau pembuktiannya dengan melakukan penelitian-penelitian dengan menempuh cara yang disebut dengan metode ilmiah yang mana ini merupakan jalan atau cara yang dilalui oleh proses ilmu dalam mencapai kebenaran dan mengambil kesimpulan tentang sesuatu. Dalam hal ini metode atau cara yang ditempuh sebagaimana menurut Francis Bacon mengemukakan empat sendi kerja untuk menyusun ilmu pengetahuan : (1) Observasi (pengamatan) (2) measuring (pengukuran) (3) explaining (penjelasan) dan (4) verifyving (pemeriksaan benar dan tidaknya). (Endang Saifuddin Anshari, 1987 : 61)

III. Agama dan Objek Kajiannya.

Pengertian Agama

Agama adalah wahyu Tuhan yang diturunkannya kepada Nabinya atau Rasulnya untuk disampaikan kepada umat manusia sebagai tuntunan dan pedoman hidup didunia sebagai khalifah fil ardh.

Menurut Harun Nasution kata agama berasal dari kata din (دين ) yang berasal bahasa Arab dan juga agama berarti religi yang berasal dari bahasa Eropah. Ada juga pendapat mengatakan bahwa agama berasal dari bahasa Sanskrit. Harun Nasution mengatakan kata agama itu tersusun dari dua kata, a : tidak dan gama : pergi, jadi agama bisa diartikan tidak pergi, tetap ditempat dan diwarisi secara turun temurun. (Abudin Nata. 1997 : 9).

Definisi yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa agama itu diwarisi secara turun temurun dari satu generasi kegenerasi yang lainnya, namun definisi yang dikemukakan diatas tidak selamanya benar karena sebagian manusia menganut suatu agama tidak sama dengan agama yang dianut oleh generasi pendahulunya. Tapi sifat keberagamaan umat manusia bisa dikatakan sebagai fitrah, karena sepanjang perjalanan hidup umat manusia di dunia ini tatkala ia tidak mampu mengatasi hal-hal yang berada diluar kemampuannya, maka pada saat itulah manusia sadar kemampuannya terbatas dan ada yang lebih maha kuasa. Di dalam ajaran Islam dikatakan Allah dan di agama lain dikatakan Dewa dan sebagainya menurut keyakinan mereka masing-masing.

Definisi agama tidak dapat di definisikan secara jelas sebagaimana menurut Mukti Ali didasarkan kepada tiga alasan, Pertama, bahwa pengalaman agama adalah soal bathini, subyektif dan sangat indiviudualitas sifatnya. Kedua, setiap orang begitu semangat dan emosional dalam membicarakan agama, sehingga dalam setiap pembahasan agama selalu ada emosi yang melekat sehingga agama itu sulit disefinisikan, Ketiga, konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan definisi tersebut. (Mukti Ali, 1971: 4)

Menurut penjelasan Mukti Ali agama sulit didefinisikan, namun batasan-batasan objek kajian agama juga tidak terbatas hanya kepada urusan ukhrawiyah saja namun mencakup dari seluruh aspek kehidupan umat manusia. Karena agama diturunkan sempurna yang mencakup seluruh aspek kehidupan umat manusia baik didunia dan akherat. Agama disini yang dimaksud adalah agama Islam sebagai rahmatan lil alamiin, rahmat bagi semesta alam.

Objek Kajiaa Agama

Objek kajian agama sebagaimanan yang diungkapkan oleh Mukti Ali bahwa tidak terbatas hanya kepada urusan ukhrawiyah saja namun mencakup dari seluruh aspek kehidupan umat manusia. Karena agama diturunkan sempurna yang mencakup seluruh aspek kehidupan umat manusia baik didunia dan akherat.

Berbicara tentang agama maka tidak akan terlepas dari kepercayaan yang dianut oleh manusia dan secara garis besarnya bahwa agama itu berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari simbol-simbol kagamaan "kebenaran agama" karena simbol agama memiliki dimensi yang sangat luas cakupannya yang seringkali melintasi batas yang paling kongkrit sampai kepada bentuk yang paling abstrak, sehingga pendekatan logika ilmu pengetahuan manusia mampu menjelaskan pengertian sesungguhnya tentang konsep-konsep agama. Hal ini sejalan dengan definisi agama yang diungkapkan oleh Mukti Ali bahwa setiap orang begitu semangat dan emosional dalam membicarakan agama, sehingga dalam setiap pembahasan agama selalu ada emosi yang melekat sehingga agama itu sulit didefinisikan, dan juga konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan definisi tersebut.

Walaupun pemahaman keagamaan masyarakat sesuai dengan persepsi pemeluknya dan kemampuan nalar manusia untuk memahami kebenaran agama berada pada posisi yang paling puncak, namun secara riil logika akal manusia tidak akan mampu memperoleh kebenaran total dari seluruh wujud konsep ajarannya dan menangkap kebenaran secara mutlak (absolute). Kebenaran hakiki yang mampu diraih oleh manusia adalah pada batas tafsiran melalui pendekatan logika akal. Kebenaran hakiki agama berada pada ruang tanpa batas, yang sesungguhnya tidak mungkin dipahami secara total oleh manusia.(Irwandar, 2003 : 62-63).

Kesadaran manusia yang bersifat agamis pada dasarnya merupakan hal yang alamiah yang memunculkan kesadaran spiritual yang berasal dari naluri batin manusia. Dari sana pula timbul kesadaran akan keterbatasan akalnya dalam memahami realitas diluar kemampuan dirinya. Pada tahapan selanjutnya timbul kesadaran terhadap kehadiran yang Maha tinggi (the Ultimate Reality), yaitu Tuhan pencipta cosmos yang hadir dan menghidupi dirinya. Irwandar, 2003 : 62-63).

Nilai kebenaran agama memilki implikasi yang sangat dalam dan hal ini dapat kita lihat dalam berbagai realitas sejarah kehidupan manusia. Agama sebagai landasan hidup mampu memberikan proteksi terhadap berbagai kecenderungan tindakan manusia yang bias moral, maka oeh sebab itu manusia memerlukan nilai-nilai agama dalam menjalani kehidupannya. Dengan adanya agama sebagai (guidance) menusia memiliki nurani dan nilai kemanusiaannya sehingga peradaban modern yang dibagunnya tidak membawa mereka keluar dari jalur-jalur atau nilai-nilai ajaran agama dan menjadikan nilai-nilai agama tersebut menjadi pilar kehidupannya dalam perdaban modern saat ini.

Essensi agama adalah memberi arti, makna dan tujuan hakiki bagi kehidupan manusia di muka bumi ini disini dapat kita lihat bahwa agama dapat mendorong tindakan rasional ke arah perbaikan nilai-nilai kemanusiaan pada relaitas dunia yang selalu berubah dalam proses pembangunan dan sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan manusia. Kemiskinan dalam dimensi spiritual dan visi keagmaan dianggap sebagai basisi social yang suibur untuk tumbuhnya dan berkembangnya fenomena Peseudo spiritualitas dan bahkan cenderung meningkatkan spiritualitas atheistic dalam masyarakat. ( Fachri Ali. 1986 )

Maka disini agama adala sebagai petunjuk (guidance) bagi manusia dalam menjalani kehidupan hadir untuk mengatasi kemiskinan dalam dimensi spiritual dan visi keagmaan dan membawa manusia menuju kepada hakekat kebenaran dalam menjalni kehiudpan di dunia ini yang sejalan dengan nilai-nilai ketuhanan.

IV. Hubungan Filsafat, Ilmu dan Agama.

Sebagaimana telah kami kemukakan terdahulu bahwa filsafat adalah proses berpikir yang sistematis dan radikal juga memiliki objek material dan objek formal yang mencakup segala yang ada (yang tampak dan yang tidak tampak), maka filsafat merupakan bagian dari epistemology (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). (Jujun. S. Suryasumantri, 2002;33), yang mana filsafat ilmu merupakan telaahan yang hendak menjawab mengenai hakikat ilmu.

Agama, ilmu pengetahuan, seni, sastra, tekhnologi dan ekonomi merupakan hal-hal yang menjadi ciri peradaban bangsa-bangsa didunia yang satu sama lain saling mempengaruhi ketika filsafat dalam pertarungannya mempergunakan senjata ilmu pengetahuan yang terdapat dalam unsur ( agama, filsafat dan ilmu pengetahuan) dan didalamnya terdapat keserasian yang menimbulkan peradaban Islam yang berkembang kokoh yang wilayahnya meliputi dari India Timur hingga Andalusia di Barat. (Ahmad Fuad Al-Ahlawi, 1994 ; 25)

Titik fokus dari filsafat tertuju pada alam wujud yang sebagai suatu sarana untuk mendapatkan petunjuk meyakinkan tentang eksistensi zat yang menciptakannya. Pandangan mengenai hal ini merupakan mahkota filsafat yang merupakan bagian yang paling tinggi nilainya dan oleh karena itu disebut ilmu pengetahuan.

Sejalan dengan kajian filsafat terhadap kepada semua alam wujud untuk memperoleh petunjuk keyakinan tentang eksistensi zat yang menciptakannya. Dan pandangan filsafat terhadap semua alam wujud merupakan mahkota dan hal yang paling tinggi nilainya. Dan oleh karena itu ia disebut dengan nama "ilmu tentang soal-soal ketuhanan" atau" ilmu Ilahi" sebagaimana yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa segi filsafat membahas tentang masalah ketuhanan tidak dapat mencapai hasil yang baik kecuali jika sebelumnya telah dikuasai lebih dahulu cabang ilmu yang lain. (Ahmad Fuad Al-Ahlawi, 1994 ; 24)

Maka filsafat, agama dan ilmu adalah satu kesatuan yang mempunyai hubungan namun berjalan sesuai dengan metode dan cara-caranya sendiri namun dalam perbedaan diantara ketiganya terdapat kesamaan yang sulit didefinisikan. Karena antara filsafat dan agama dalam mencapai kebenaran menempuh jalan yang berbeda. Agama dilandasi dengan keyakinan yang berdasarkan kepada nilai dan norma agama dengan jalan memperhatikan akan kebesaran tanda-tanda Allah yang ada dimuka bumi ini seperti bagaimana bumi ini terhampar, gunung berdiri serta perjalanan siang dan malam dan hal ini . sedangkan filsafat berangkat dari keraguan dan dengan keraguan tersebut barulah melakukan pencarian hakekat kebenaran dengan jalan melihat sesuatu itu secara mendalam dan keseluruhan dan setelah itu barulah ditarik suatu kesimpulan. Namun kebenaran yang dicapai filsafat tidaklah mutlak. Maka untuk menguji kebenaran yang dicapai oleh filsafat tersebut dapat dicapai dengan jalan mempelajari ayat-ayat Tuhan baik secara tertulis maupun tersirat dengan teori ilmiah yaitu dengan mempelajari Ayat-ayat Tuhan yang secara tersirat dan tertulis yang disebut dengan ilmu.

Memang filsafat dan ilmu memiliki objek kajian tersendiri, namun dapat dirtarik bahwa letak titik temu dari keduanya adalah sama-sama inging mencapai suatu kebenaran tentang sesuatu walau dengan jalan yang berbeda.

Sesuai dengan definisi ilmu menurut Ralph Ross dan Ernest Van Den Hag bahwa Ilmu merupakan salah satu jalan untuk mencapai sesuatu yang sistematis dan rasional dan dapat diuji secara empiris (nyata) dan riset (eksperimen). Maka ilmu sebagai salah satu cara untuk membuktikan kebenaran dan ajaran-ajaran agama yang termuat dalam ayat-ayat Allah baik tersirat maupun tersurat. Seperti pembuktian pencipataan bumi ini yang dijelaskan dalam al-Quran tentang ihwal kejadian alam semesta sebagaimana pembuktian yang dilakukan oleh Edwin P. Hubble seorang sarjana di Observatium Mount Wilson, California , Amerika Serikat yang mempelajari rotasi pergerakan galaksi-galaksi yang mana galaksi tersebut diasmping berotasi juga bergerak menjauhi bumi. Semakin jauh letak galaksi dari bumi, semakin cepat gerak tersebut sehingga ada yang memiliki kecepatan seratus ribu kilometer perdetik (lebih kurang sama dengan sepertiga kecepatan cahaya). Dan penemuan ini oleh para ilmuwan dinamakan "The Expanding Universe". Jelas teori ini bahwa alam semesta ini bersifat seperti balon atau gelembung karet yang sedang ditiup kesegala arah. Maka langit dalam pengamatan dewasa ini sebenarnya semakin tinggi dan semakin mengembang kesegala arah dengan kecepatan yang luar biasa. Dan hal ini dapat kita tangkap dalam Qs. al-Ghasyiah ayat 17-18. bahwa bumi kita ini bulat dan dipenuhi maka langit yang melingkungi bumi ini harus mengembang ksegala arah.(Quraish Shihab : 1997 : 175).

Sejalan dengan pembuktian yang dilakukan oleh para ilmuwan melalui penelitian-penelitian terhadap gejala-gejala yang ada disekitarnya yang belum dia ketahui menggunakan metode yang barvariasi yang ditempuh dengan metodologi ilmiah melalui research yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menemukan suaru kesimpulan.

Maka ilmu sebagai salah satu sarana pembuktian ilmiah terhadap kebenaran yang terdapat dalam ayat-ayat Tuhan baik secara tersirat dan tersurat memiliki kaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Teori yang dikemukakan ayat al-Qur'an tersebut tentang bagaimana langit ditinggikan banyak menimbulkan ketidak percayaan pada awalnya, namun setelah diadakan pengamatan dan pembuktian maka barulah orang menerima dan percaya akan kebenaran yang termuat dalam ayat-ayat Allah SWT. Namun tidak semua apa yang terdapat dalam ajaran agama itu dapat dibuktikan dengan jalan metode ilmiah. Disinilah dapat kita lihat perbedaan antara agama dan ilmu pengetahuan.

Ilmu dan filsafat mempunyai objek kajian masing-masing yang saling mendukung dalam mencapai suatu kebenaran. Filsafat berusaha mencari hakekat kebenaran sesuatu dengan jalan berpikir secara sistematis dan radikal secara menyeluruh. Untuk mencapai kebenaran sesuatu ilmu melalui langkah-langkah perumusan masalah, pengamatan dan deskripsi, penjelasan serta ramalan dan control. Pembuktian secara ilmiah dilakukan dengan mengamati dan seterusnya, sehingga menemukan suatu kesimpulan akan kebenaran sesuatu.

Ilmu dan filsafat memiliki kesamaan dan juga perbedaan diantaranya adapun letak perbedaan antar filsafat dan ilmu terletak pada :

Obyek forma ilmu : mencari keterangan terbatas sejauh terjangkau pembuktian penelitian, percobaan dan pengalaman manusia; objek forma filsafat : mencari keterangan sedalam-dalamnya, sampai ke akar persoalan, sampai ke sebab-sebab dan ke "mengapa" terakhir, sepanjang keungkinan yang ada pada akal-budi manusia berdasarkan kekuatannya ; dan objek materi filsafat (1) masalah Tuhan, (2) masalah alam yang belum dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan biasa (3) permasalahan hidup manusia yang belum mampu dijawab oleh ilmu pengetahuan. ( Endang Saifuddin Anshari, 1987 : 92).

Filsafat dan keseluruhan ilmu bertemu pada objek materia (segala yamg ada dan mungkin ada) tetapi ilmu dan filsafat tetap berbeda; karena objek formanya. Letak perbedaan antara agama dan filsafat terletak pada sudut penyelidikan kepada kebenaran tentang Tuhan yang mana agama merujuk kepada wahyu, walaupun kesamaan dalam pembahasan bahwa filsafat juga mengakaji tentang masalah baik dan buruk dan tentang hakekat kebenaran sesuatu. Filsafat dalam menerima tentang kebenaran bukanlah berangkat dari keyakinan atau kepercayaan tetapi dengan melalui penyelidikan, pikiran belaka. Namun begitu filsafat tidak mengingkari wahyu ataupun mengurangi, tetapi dalam mencapai kebenaran tidak berdasrkan pada wahyu. Walaupun dalam lapangan filsafat dan agama terjadi perbedaan dalam beberpa hal krena agama berdasarkan wahyu sedangakan filsafat berdasarkan pikiran belaka, namun tidak mungkin di dapatkan peretentangna diantara keduanya.

Persamaan filsafat dengan ilmu bertemu pada objek (material) segala yang ada dan mungkin yang ada, tetapi filsafat dan ilmu tetep berbeda. Karena ilmu sudah membatasi diri dalam objek kajiannya atau pembahasannya kepada pengalaman ataupun penegtahuan sebelumnya. Sedangkan filsafat tidak membatasi diri dan mencari keterangan yang sedalam-dalamnya. Dalam pencapain titik akhir antara filsafat, ilmu dan agama semuanya akan berakhir kepada agama yang merupakan suatu kebenaran yang mutlak dan absolute, anatara filsafat, ilmu dan agama dalam hubungannya dapat ditarik benang merah diantaranya adalah sama-sama mencari kebenaran akan hakekat segala sesuatu yang belum ditemui jawabannya.

Kesimpulan

Ilmu, Filsafat dan Agama adalah salah satu sarana untuk mencapai suatu kebenaran, naumn kebenaran yang didapatkan melalui ilmu dan filsafat hnayalah bersifat empris dan tidak obsolute, karena suatu saat akan terbantah jika ada penemuan terbaru terhadap temuan terdahulu. Agama adalah kebenaran yang absolute yang dapat diuji dengan jalam ilmiah ataupun filsafat.

Filsafat, sebagai proses berpikir yang sistematis dan radikal juga memiliki objek material dan objek formal yang mencakup segala yang ada (yang tampak dan yang tidak tampak), yang tampak adalah dunia empiris sedangkan yang tidak tampak adalah dunia metafisika. Maka sebsb itu filsafat yang merupakan cara berpikir yang sistematis tentang yang ada dan metafisika merupakan langkah manusia untuk mengenali dirinya dan penciptanya serta apa yang ada disekitarnya dengan proses berpikir

Ilmu dan filsafat sebenarnya merupakan suatu alat bagi manusia untuk mengenali diri dan menambah keyakinan akan kebesaran pencipta alam semesta ini (Allah SWT). Hubungan agama. Ilmu dan filsafat merupakan suatu keterkaitan yang saling melengkapi untuk pembuktian eksistensi adanya yang maha kuasa, walaupun diantara ketiganya memiliki perbedaan dalam pencapaian suatu kebenaran. Yang mana filsafat berangkat dari keraguan setelah melakukan perenungan dan pemikiran yang secara menyeluuh dan mendalam, dan ilmu berangkat dari pengalaman yang berulang-ulang dan diuji secara emprisme dengan metode-metode ilmiah maka baru dicapai akan suatu kebenaran dan kebenarannya sangat relative, sedangkan agama berangakat dari keyakinan dalam melihat kebenaran sesuatu dengan berdasarkan kepada wahyu ilahi.

Namun dapat ditarik kesimpulan diantaranya adalah semuanya ingin mencapai suatu kebenaran dengan menempuh jalan yang berbeda dengan tujuan yang sama, maka hubungan diantaranya adalah pembuktian kebenaran terhadap fenomena yang ditemui manusia yang perlu mendapatkan jawaban.

Daftar Pustaka

Ahmad Fuad Al-Ahlawi, Filsafat Islam. Cet. Ke. IV. (Pustaka Firdaus, Jakarta : 1994).

Ali, Fachri dan Efendi, Bahtiar, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung, Mizan : 1986).

Anshari, Endang Saifuddin, Ilmu, filsafat dan Agama. (Bina Ilmu. Surabaya : 1987)

H. A. Mukti Ali, Universalitas dan Pembagunan, (IKIP Bandung : Bandung. 1971).

H.M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. (Bumi Aksara. Jakarta: 2000).

Irwandar , Dekonstruksi Pemikiran Islam : Idealitas Nilai dan Realitas Empiris. ( AR-RUZ Media Press. Yogyakarta : 2003).

Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan. (Gaya Media Pratama, Jakarta : 1997).

Jalaluddin & Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam : Konsep Perkembangan Pemikirannya. (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta : 1994).

Kamus Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (Balai Pustaka, Jakarta : 1991).

Marimba, D. Ahmad, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (PT. Al-Ma'arif, Bandung : 1974).

Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam ( Logos Wacana Ilmu. Jakarta : 1997).

Poedjawinata, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, (Rineka Cipta. Jakarta : 1994).

Qardhawi, Yusuf, Al-Qur'an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. (Gema Insani Press, Jakarta : 1998)

Rasjidi & Cawidu, Harifuddin. Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat. ( Bulan Bintang Jakarta :1998).

S. Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.( Pustaka Sinar Harapan, Jakarta : 2002)

S. Suriasumantri, Jujun. Ilmu dalam Perspektif .(Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 2001).

Shihab, Quraish, Mukjizat Al-Qur'an : Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pembaritaan Gaib. (Mizan Bandung : 1997)